Lembaga keuangan merupakan bagian dari sistem keuangan dalam ekonomi modern yang melayani masyarakat pemakai jasa-jasa keuangan. Lembaga keuangan menawarkan berbagai jasa keuangan antara lain menawarkan berbagai jenis skema tabungan, proteksi asuransi, program pensiun, penyediaan system pembayaran dan mekanisme transfer dana. Dalam hal ini yang dimaksud dengan lembaga keuangan adalah bank. Hampir seluruh penduduk di dunia ini menggunakan jasa keuangan berupa bank. Namun saat ini telah berkembang kembali bank yang memiliki prinsip islam yaitu bank syariah. Berbeda dengan prinsip bank konvensional yang telah kita kenal selama ini. Pada bank konvensional, yang digunakan sebagai penghasil keuntungan adalah sistem bunganya sedangkan dalam syariah yang digunakan dalam penghasil keuntungannya adalah sistem bagi hasil. Apabila dilihat dari segi penghitungan nominal mungkin kedua sistem ini memiliki sedikit kesamaan, namun apabila dilihat dari segi hukumnya kedua sistem sangat jauh berbeda.
Dalam pengembangan perekonomian Islam banyak hal dan fenomena yang masih harus dibahas mendalam tentang syariat yang terkandung di dalamnya. Maka pada Kartu Kredit banyak hal yang masih harus di telusuri dan dikaji, banyak pertentangan yang ada, diantaranya sikap pemborosan terhadap pemakaian kartu kredit.
Bisnis kartu kredit yang kian gebyar ternyata menggoda sebagian pelaku bank syariah untuk menghadirkan kartu kredit yang syariah, meski menimbulkan pro dan kontra di tengah hiruk pikuknya dunia konsumtif, kredit macet, dan beban utang yang berkelanjutan, sehingga memerlukan penelusuran yang transparan sejauh mana urgensi kartu kredit dalam dunia perbankan syariah di Indonesia lewat lorong yang objektif.
Maka dalam hal ini, penerbitan kartu kredit masih menjadi pro dan kontra dalam masyarakat. Maka disini kami akan membahas masalah pandangan islam terhadap kartu kredit.
A. DEFINISI KARTU KREDIT
Dalam Fiqih Mu’amalah
Kartu kredit “bithaqah I’timan” biasa disebut “bithaqah isti’man” artinya adalah
Memberikan hak kepada orang lain atas hartanya dengan ikatan kepercayaan, sehingga orang tersebut tidak bertanggung jawab kecuali bila ia melakukan keteledoran atau pelanggaran.
Sementara dalam kamus Ekonomi Arab menjelaskan
”sejenis kartu khusus yang dikeluarkan oleh pihak bank-sebagai pengeluar kartu-, lalu jumlahnya akan dibayar kemudian.”
Menurut Expert Dictionary
”kartu yang dikeluarkan oleh pihak bank dan sejenisnya untuk memungkinkan pembawanya membeli barang-barang yang dibutuhkannya secara hutang.”
Menurut al-Majma’ al-Fiqhiy al Islamiy
Sejenis kuitansi yang diberikan oleh pihak yang berwenang untuk orang biasa atau orang tertentu sesuai dengan transaksi yang mereka sepakati, sehingga memungkinkannya membeli barang-barang dan pelayanan dari pihak-pihak yang mengakui fungsi kartu tersebut tanpa membayar secara kontan, karena sudah ada komitmen bahwa pihak pengeluar kartu akan membayarnya.
B. PENJELASAN GLOBAL TENTANG HAKIKAT KARTU KREDIT
Dalam kartu kredit membentuk tiga hal, yaitu:
Ä Pertama :
Kaitan antara kartu tersebut dengan Pihak bank yang mengeluarkannya dalam transaksi pengeluaran kartu.
Ä Kedua :
Hubungan antara kartu kredit dengan bank yang mengeluarkan kartu dan kartu dan pihak pedagang.
Ä Ketiga :
Hubungan antarapemilik kartu dengan pedagang.
Penjelasan global tentang kartu kredit:
J Pertama :
Transaksi yang mengaitkan antara yang mengeluarkan kartu dengan pemegang kartu.
Transaksi ini terdiri dari tiga unsur :
- Jaminan,
- penjaminan dan
- peminjaman.
J Kedua :
Transaksi antara yang mengeluarkan kartu dengan pihak pedagang.
Transaksi ini terdiri dari dua unsur saja :
1. Jaminan
2. Penjaminan.
J Ketiga :
Transaksi antara pemegang kartu dengan pedagang yang hukumnya disesuaikan dengan jual beli atau penyewaan yang dilakukan sesuai dengan karakter transaksi disamping sistem hiwalah, yakni pemegang kartu itu melimpahkan pembayarannya terhadap barang jualan pedagang kepada pihak yang mengeluarka kaartu tersebut.
C. HUKUM-HUKUM SYARIAT TENTANG KARTU KREDIT
q Pertama : Persyaratan berbau riba.
Transaksi untuk mengeluarkan kartu-kartu tersebut pada umumnya mengandung beberapa komitmen berbau riba yang intinya mengharuskan pemegang kartu untuk membayar bunga-bunga riba atau denda-denda finansial apabila terlambat menutupi hutangnya. Ulama fiqih kontemporer memiliki 2 pandangan ketika membahas tentang komitmen tersebut terhadap sah tidaknya transaksi pembuatan kartu kredit. Pertama : kubu yang membolehkan. Mereka menganggap bahwa transaksi itu sah, namun komitmennya batal. Kedua : kubu yang melarangnya. Mereka menganggap transaksi tersebut batal. Demikian pendapat tegas dari kalangan Malikiyah dan Syafi’iyah.
q Kedua : Prosentase yang dipotong oleh pihak yang mengeluarkan kartu dari bayaran untuk pedagang.
Ahli fiqih kontemporer berbeda pendapat dalam mengulas tentang jenis kartu tersebut :
Ö Sebagian ada yang mendudukkan prosentase itu sebagai biaya administrasi, upah dari pengambilan pembayaran dari nasabah. Sementara mengambil upah dari usaha pengambilan utang atau menyampaikan barang yang dihutangkan adalah boleh-boleh saja.
Ö Sebagian ada yang mendudukannya sebagai upah dari jasa yang diberikan oleh pihak bank kepada pihak pedagang, seperti pesan-pesan, iklan, dan bantuan penyaluran barang atau yang sejenisnya. Bisa juga didudukan sebagai upah perantara. Karena pihak bank sudah membantu mencarikan pelanggan untuk pihak pedagang, sehingga layak mendapatkan upah karenanya.
Ö Menurut kalangan Hanafiyah menganggapnya sebagai kompensasi perdamaian bersama pihak yang memberi hutang dengan jumlah yang lebih sedikit dari yang harus dibayar, karena hubungan antara pihak yang mengeluarkan kartu dengan pihak pemegang kartu dibawah sistem jaminan.
Ö Sebagian ada juga yang berpandangan bahwa pengambilan prosentase itu tidak mengandung syubhat sebagai riba secara mendasar. Karena kita dihadapkan dengan persoalan rabat/discount, bukan tambahan harga. Sehingga tidak ada hal yang menyeretnya kepada bentuk riba.
Ö Pengkajian fiqih kontemporer tetap berkesimpulan bahwa pengambilan prosentase keuntungan di sini tetap dibolehkan, dengan catatan harus dibatasi sehingga layak disebut sebagai upah jasa yang diberikan kepada pihak pedagang dan tergambar langsung dalam rekening pembeliannya, dan juga agar dapat menarik para pelanggan untuk membeli barang kepada pedagang tersebut, mempermudah proses jual beli mereka, lalu pihak bank yang mengeluarkan kartu itu dan pihak bank lain yang hanya melakukan transaksi daagang bisa membagi rata upah dari pelayanan tersebut, karena mereka secara bersamaan melakukan jasa tersebut untuk kepentingan pedagang.
Ö Lembaga Syariat perusahaan perbankan ar-Rajihi ini menetapkan bahwa tidak ada larangan mengambil prosentase dari harga yang dibeli oleh pemegang kartu, selama prosentase itu dipotong dari upah jasa atau dari harga barang. Sistem pemotongan ini diambil oleh pihak penjual untuk kepentingan bank yang mengeluarkan kartu dengan perusahaan visa internasional.
Ö Lembaga syariat juga mengeluarkan fatwa yang membolehkan pengambilan prosentase keuntungan tersebut, fatwa itu ditujukan kepada Dewan Keuangan Kuawait dan Bank Islam Yordania.
q Ketiga enda Keterlambatan dan Bunga Riba
Pihak yang mengeluarkan kartu ini menetapkan beberapa bentuk denda finansial karena keterlambatan penutupan hutang, karena penundaan atau karena tersendatnya pembayaran dana yang ditarik melalui kartu. Denda semacam itu termasuk riba nasi’ah yang keharamannya langsung ditentukan melalui turunnya ayat al-Qur’an. Bahkan para pelakunya diancam perang oleh Allah dan RasulNya.
D. BAGAIMANA MENGATASI PROBLEMATIKA KETERLAMBATAN PEMBAYARAN HUTANG
Ada sebagian alternatif untuk bunga-bunga riba dan denda-denda keterlambatan pembayaran hutang, yaitu :
v Memberikan kelonggaran kepada pihak yang berhutang, kalau ia adalah orang miskin yang kesulitan mengembalikan hutangnya.
v Membatalkan keanggotaannya
v Menarik kartu kreditnya kemudian mengadukan persoalannya ke pengadilan, lalu melimpahkan kepadanya semua biaya kemelut tersebut.
v Menyebarkan nama pelanggan bersangkutan dalam daftar hitam (black list), diumumkan kepada seluruh bank agar tidak menerimanya sebagai anggota dan juga agar menjadi pelajaran bagi orang-orang yang berprilaku sepertinya.
Bolehkah Membeli Emas atau Perak dengan Kartu Kredit ?
sebagaimana sabda Nabi saw:
”Emas ditukar dengan Emas, perak ditukar dengan perak, harus sama beratnya dan harus diserahterimakan secara langsung. Kalau berlainan jenis, silahkan kalian jual sesuka kalian, namun harus secara kontan juga.”
Jawabnya
Lembaga Pengkajian Fiqih Islam telah mengeluarkan fatwa dibolehkannya membeli emas dan perak dengan menggunakan cek dengan syarat bahwa serah terimanya diselesaikan syarat transaksi.
F Kartu kredit yang bisa juga dijadikan pembayaran langsung sehingga bisa digunakan untuk membeli emas atau perak.
F Sementara alat tukar yang tidak bisa dijadikan pembayaran langsung, tidak bisa digunakan untuk membeli kedua barang itu.
F Hadits Ibnu Umar RA yang menceritakan
”Kami pernah menjual unta di Naqie’. Kami menjualnya dengan uang emas, lalu mendapatkan bayaran dengan uang perak. Atau menjualnya dengan uang perak, dan mendapatkan bayaran dengan uang emas. Aku menanyakan hal itu kepada Rasulullah saw beliau menjawab, ”Boleh saja, asal dijual dengan harga hari itu juga, apabila kalian keluar dari transaksi tanpa ada apa-apa diantara kalian.”
Jika penukaran itu melalui penarikan dana langsung dari rekening nasabah, lalu diambil uang administrasinya, cara demikian disyariatkan. Demikian juga apabila pihak bank yang mengeluarkan kartu memiliki uang di bank yang mewakili sehingga bisa menutupi biaya dana yang ditarik tersebut.
Ketika bentuknya adalah pinjaman, maka imbalan yang diambil ketika itu adalah riba yang diharamkan. Demikian juga apabila rekeningnya adalah rekening bebas, atau dana yang juga tidak cukup untuk menutupi biaya yang ditarik.
BAB III ANALISIS KARTU KREDIT
STUDI KASUS
n Apakah kartu kredit perlu disyariahkan ?
n Apakah bank syariah membutuhkan kartu kredit syariah ?
n Apakah kita (umat islam) membutuhkan kartu kredit syariah ?
n Apakah kartu kredit bisa disyariahkan?
n Bagaimana pendapat anda berikan argumen anda !!!
(1) Bank Syariah Butuh Kartu Kredit ?
n ”Kartu kredit syariah itu muncul karena perbankan syariah ingin compete (bersaing) dengan konvensional. Jadi, itu sangat dibutuhkan,” menurut salah seorang mantan bangkir syariah. Menurutnya, kartu kredit dibutuhkan untuk pengembangan bisnis perbankan. Hal tersebut diperlukan bagi sejumlah bank syariah atau divisi syariah bank konvensional yang bergerak di sektor perbankan komersial (Commercial banking). Di antaranya adalah Bank Danamon Syariah dan Bank Permata Syariah. Menurutnya dengan adanya kartu kredit syariah, maka kedua divisi syariah tersebut memiliki potensi untuk meningkatkan jumlah nasabah pembiayaannya. Selain itu, dana pembiayaan yang disalurkan juga akan meningkat secara otomatis. ”Jadi, saya kira bank-bank seperti Danamon Syariah dan Permata Syariah lebih menyenangi hal itu,” katanya.
(2) Pro-Kon Kartu Kredit Syariah
n KARTU kredit sudah menjadi gaya hidup tersendiri yang berhasil mengubah perilaku masyarakat. Bagaimana kartu kredit syariah? Apa mungkin? Tren ke depan, kartu kredit bakal menjadi mata uang tersendiri. Esensinya praktis, aman, dan fleksibel. Meskipun, masih memicu kontroversi, karena sering menjerat si pemakai menjadi ‘besar pasak daripada tiang’. Di tengah kontroversial itu muncul wacana penerbitan kartu kredit syariah yang juga disikapi beragam oleh pihak-pihak terkait. Pihak perbankan syariah, misalnya, ada yang menyatakan mendukung, ada pula yang sebaliknya.
1. Salah satu bank syariah yang menyatakan kurang setuju dengan wacana penerbitan produk uang plastik tersebut. Salah satu direkturnya mengungkapkan, kartu kredit sebagai alat transaksi mampu memberikan berbagai kemudahan, namun berpotensi menimbulkan sikap konsumtif, terutama bila tidak digunakan hati-hati. ”Bila dilihat mudarat dan manfaatnya, kartu kredit syariah sebaiknya dihindari. Kemudahan transaksi akan lebih baik dengan kartu ATM dan kartu debit yang didasarkan pada cadangan dana mereka sendiri. Sedangkan kebutuhan lain, bila bersisi produktif dan meningkatkan kemakmuran, dapat diperoleh dengan mengajukan pembiayaan syariah,” kata-nya.
2. Sebaliknya, sikap berbeda diungkapkan Bank Syariah lainnya dan cabang syariah lainnya. Didasari oleh besarnya pangsa pasar kartu kredit dan kenyataan bahwa kartu kredit memang dibutuhkan masyarakat, kedua bank tersebut menyatakan dukungan terhadap produk kartu kredit syariah. Kepala Divisi Pengembangan Produk Bank Syariah tersebut menyatakan berdasar data yang dimiliki, dari populasi Indonesia yang kini mencapai sekitar 220 juta jiwa, 87%-nya adalah umat Islam. Dari jumlah tersebut, ada sekitar 60 juta jiwa yang memiliki rekening pada bank dan ada sekitar 25 juta jiwa yang memiliki kartu (ATM, kartu kredit, dan kartu debit). ”Pengguna jasa kartu kredit ada sekitar 5 juta jiwa, seluruhnya menggunakan sistem bunga. Sedangkan konsumen potensial untuk memiliki kartu kredit diperkirakan berjumlah 20 juta jiwa,” ujarnya.
(3) Perlukah Kartu Kredit Disyariahkan?
n Di zaman yang semakin modern ini, Anda tak perlu lagi membawa segepok uang untuk keperluan belanja. Cukup menyimpan kartu plastik berukuran panjang 8,5 dan lebar 5,4 sentimeter di dompet dan menggeseknya di lokasi belanja berlogo Visa, MasterCard, American Express, Maestro, Diners Club, atau Mondex.
n Transaksi mendunia tanpa uang tunai mulai menjadi tren sejak ditemukannya kartu plastik (plastic card) atau kartu pintar (smart card) seiring perkembangan ekonomi dan budaya masyarakat yang mulai meninggalkan kebiasaaan memakai uang tunai(cashless society).
n Kartu substitusi uang ini mencakupi ATM (Automatic Teller Machine) yang merupakan asesoris tabungan atau giro, kartu debet (debit card), kartu tunai (cash card) atau kartu aset (asset card), kartu tagihan (charge card) yang ditagih pada saat jatuh tempo, serta kartu kredit (credit card) sebagai alat pembayaran atau instrumen fasilitas kredit.
n Bisnis kartu kredit yang kian gebyar ternyata menggoda sebagian pelaku bank syariah untuk menghadirkan kartu kredit yang syariah, meski menimbulkan pro dan kontra di tengah hiruk pikuknya dunia konsumtif, kredit macet, dan beban utang yang berkelanjutan, sehingga memerlukan penelusuran yang transparan sejauh mana urgensi kartu kredit dalam dunia perbankan syariah di Indonesia lewat lorong yang objektif.
n Hasil survei The Nilson Report per Maret 2002 menunjukkan bahwa pada tahun 2001 terdapat 94 juta pemegang kartu kredit (cardholder) terbitan Visa dan 92,1 juta MasterCard dengan total kartu sebanyak 493,4 juta (kartu utama dan supplement). Nilai belanjanya menyentuh angka 818,15 miliar dolar AS dengan pengambilan tunai(cash advance) sebesar 194.9 miliar dolar AS (24 persen).
n Jumlah kedua kartu yang beredar di Indonesia mencapai 6,6 juta dengan nilai transaksi 2,9 miliar dolar AS, termasuk aktivitas belanja sebesar 1,6 miliar dolar AS yang bervolume 80,1 juta transaksi, meski relatif kecil dibanding Singapura, Malaysia, Thailand, New Zealand, Hongkong, Taiwan, Australia, Jepang, Korea Selatan, dan Jepang. Padahal kondisi Indonesia masih didominasi oleh masyarakat yang tergolongcash based society (menggunakan uang tunai).
n Belakangan tren penggunaan kartu kredit tersebut makin marak seiring dengan kemudahan akses untuk berbelanja, tawaran program belanja yang menarik, serta berbagai hadiah yang pernah diluncurkan oleh para issuer seperti VW Beetle, Audi TT, BMW Z3, Toyota RAV4, dan Isuzu Phanter.
n Selain itu penggunaan produk kartu kredit semakin dikembangkan lewat program cross selling untuk pembayaran kewajiban angsuran premi asuransi, telepon, penarikan tunai, penjualan produk gaya hidup, furnitur, dan elektronik untuk keperluan rumah tangga (merchandising), sehingga berpengaruh terhadap cashflow dan menggerogoti dana darurat (emergency fund) keuangan keluarga akibat kewajiban cicilan yang semakin membengkak.
n Persaingan bisnis yang terjadi kadangkala mengabaikan prudential banking dengan menerabas standar pendapatan (income) calon pemegang kartu, jumlah kartu kredit yang telah dimiliki, tawaran belanja dengan cicilan berjangka yang melebihi kapasitas finansial, serta lemahnya pengawasan terhadap agen penjualan yang mempengaruhi kualitas acquisition (perolehan account).
n Konsumsi merupakan faktor pemicu fungsi produksi dan distribusi yang akan menggerakkan roda perekonomian, sehingga menimbulkan tabiat produsen yang berusaha mengeksploitasi need konsumen dan mengkonversinya menjadi demand.
n Kondisi di atas secara jeli telah dimanfaatkan oleh pelaku pasar untuk menggaet konsumen lewat kemudahan belanja, keringanan cicilan, aneka hadiah, serta penghargaan terhadap customer loyalty yang menggiring konsumen kepada utang yang berkelanjutan.
n Pola penawaran yang dilakukan pebisnis kartu kredit tidak terlepas dari dualisme sebagai alat pembayaran (payment system) dan memacu penggunaan (usage) yang menyerang wilayah keinginan (wants) seseorang daripada kebutuhan (needs), sehingga melahirkan tawaran konsumtif yang cenderung boros karena adanya kemudahan belanja, pesta diskon, cicilan ringan dengan minimum pembayaran(minimum payment) berkisar 5 – 10 persen, serta program reward point yang menyentuh psikologis pembeli (cardholder).
n Padahal Islam menuntut agar mengkonsumsi sesuatu yang memberikan manfaat dan kemaslahatan serta mengabaikan kemubaziran atau pemborosan yang mengarah konsumerisme seperti firman Allah dalam Surat Al-Israa’ ayat 27, “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. ”
n Untuk itu diperlukan perencanaan keuangan yang saat ini mulai berkembang dan dikenal populer dengan sebutan financial planning (perencanaan keuangan) atauwealth management (manajemen kekayaan) yang berseberangan dengan perilaku berutang, khususnya utang jangka pendek, terutama kartu kredit yang berbasis bunga tinggi.
n Hal ini sejalan dengan pandangan Islam yang melarang pengeluaran inefisien terhadap orang yang mengaku beriman yaitu, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Maaidah: 87).
n Perilaku hidup sederhana dan tidak konsumtif merupakan tuntutan hidup seorang Muslim. Islam melarang umatnya berlaku kikir dan tidak dibenarkan membelanjakan harta secara berlebihan melampaui kewajaran seperti tuntutan Allah SWT dalam Surat Al-Furqaan Ayat 67) ”Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.”
n Pola konsumsi yang dianut jangan sampai menimbulkan masalah ekonomis yang berujung pada realitas lebih besar pasak daripada tiang (berutang). Untuk itu dituntut selektif disertai skala prioritas dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan agar tidak bermewah-mewah, sehingga terhindar dari sinyalemen yang diingatkan Allah SWT dalam firman-Nya, “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (Al-Takaasur 1-2)
n Kerawanan kartu kredit terletak pada pembebanan bunga ketika pemegang kartu tidak mampu membayar pada saat jatuh tempo, sehingga menimbulkan penggandaan bunga yang berlipat dan terpuruk dalam perangkap kapitalisme global. Apalagi banyak di antara mereka yang tidak melunasi ketika tagihan jatuh tempo.
n Kartu kredit syariah pertama di dunia diluncurkan oleh AmBank Malaysia (semula dikenal Arab-Bank Malaysian Bank Berhad) dengan nama Al Taslif Credit Card tahun 1996 yang menimbulkan pro dan kontra dengan skim bai bithaman ajil (bayar tangguh). Kemudian diikuti oleh Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) pertengahan 2002 dengan nama Bank Islam Card dan ArabBangking Corporation (ABC) Islamic Bank Bahrain pada akhir 2002, serta As Shamil Bank dan Tadamon Islamic Bank. Namun di Malaysia kurang berkembang pesat hingga kini (Republika, 21 Juli 2005).
n Proses pembuatan kartu kredit syariah mengalami kendala dalam hal penetapan harga jual, karena harga pada akad jual beli ditentukan di awal sesuai dengan jangka waktu yang disepakati. Sedang harga tangguh suatu barang dan jasa pada kartu kredit bisa berubah akibat semakin lamanya pembayaran, sehingga sulit menentukan harga jual yang akurat.
n Selain itu bagaimana mengawasi keabsahan berbagai item transaksi barang dan jasa yang menyangkut perbedaan akad, serta mendeteksi transaksi yang tidak dibenarkan secara syariah, meski bisa dilakukan dengan cara menambah chip yang berfungsi mendeteksi barang dan jasa yang haram seperti yang telah dipraktikkan oleh Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) pada produknya Bank Islam Card?
n Bagaimana bila seseorang melakukan pembelian perhiasan emas dengan menggunakan kartu kredit, lalu perhiasan tersebut dijual untuk mendapatkan uang tunai? Bagaimana pula jika dipakai untuk membeli makanan yang tidak jelas kehalalannya seperti di restoran yang tidak memiliki sertifikasi halal? Mungkin masih banyak pertanyaan lain yang menganga lebar dalam menerapkan standar ideal di negeri yang lemah fungsi pengawasannya.
n Menurut data Bank Indonesia, transaksi kartu kredit di Indonesia per 31 Desember 2004 telah mencapai Rp 37 triliun (bandingkan dengan tahun 2001 yang berkisar Rp 28 triliun) dan di antaranya senilai Rp 11 triliun (30 persen) berbentuk cicilan (kredit), sehingga terdapat angka kredit macet sebesar Rp 1,2 triliun (11 persen).
n Angka ini sungguh fantastis dan jauh melebihi batas toleransi Non Performing Loan (NPL) kredit standar yang hanya lima persen, sehingga menjadi faktor potensial yang berkontribusi terhadap kredit bermasalah yang terus menggayuti perbankan nasional. Kondisi ini sekaligus dapat dijadikan acuan terhadap rencana penerbitan kartu kredit syariah agar kelak tidak terjadi shifting (pengalihan) persoalan dari konvensional ke syariah yang berdampak terhadap reputasi perbankan syariah yang berbasis sektor riil.
n Peluang bisnis yang ingin ditangkap bank syariah untuk segmen pasar kartu kredit dapat dilakukan dengan pengembangan bisnis merchandising. Karena tingkat suku bunga yang ditawarkan merchandising unit kartu kredit relatif lebih tinggi dibanding kredit biasa, sehingga dapat diterapkan jual beli (murabahah) yang murah dan menguntungkan bagi kedua belah pihak, asalkan dilakukan secara langsung, selektif, dan prudential.
n Wacana peluncuran kartu kredit versi syariah perlu dipikirkan secara matang tanpa dipengaruhi emosional sesaat, karena dapat menciptakan paham konsumerisme yang berbasis utang. Padahal Rasulullah Muhammad saw telah mengingatkan umatnya agar bersikap hati-hati dalam berhutang dan menjadi pertanyaan pertama yang diajukan sebelum jenazah diusung.
n Untuk memberikan kemudahan dalam payment system dapat digunakan kartu debit(debit card), bukan berbasis kartu kredit. Lihat tuah kepada yang menang dan mencontoh yang ada bagaimana kenyataan mudarat kartu kredit yang dikonsumsi masyarakat. Itulah kebijakan yang rasional. Tinggalkan budaya buy now pay later. Semoga!
(4) Kartu Kredit Syariah Belum Dapat Lampu Hijau
n JAKARTA –Penerbitan kartu kredit syariah di Indonesia belum mendapat lampu hijau. Bank Indonesia selaku otoritas pengawas perbankan syariah, belum memutuskan kapan izin kartu kredit syariah diterbitkan.
n Deputi Gubernur BI, Maulana Ibrahim, mengatakan pembahasan kartu kredit di BI saat ini masih di tim teknis. Setelah itu akan diajukan ke rapat komite dan kemudian baru ada keputusan. Menurutnya tidak ada target kapan pembahasan ini selesai. Alasannya keputusan yang diambil harus benar-benar matang. ”Kita melihat manfaat danmudharat-nya,” kata Maulana. Sementara Ketua Tim Peneliti Perbankan Syariah BI, Mulya Effendi Siregar, mengatakan pembahasan telah selesai. Ada beberapa rekomendasi yang dihasilkan. Di antaranya, pengawasan penggunaan kartu kredit syariah dan kesesuaian akad dengan aplikasinya.
n Tapi ia menegaskan, sebelum menerbitkan kartu kredit syariah, bank harus menyediakan teknologi yang bisa menjamin kartu kredit digunakan secara benar. Misalnya teknologi yang bisa mendeteksi barang yang dibeli oleh nasabah bukan barang haram. ”Apakah kartu kredit bisa membedakan kalau nasabah membeli coklat dan bir di toko yang sama,” kata Mulya. Menurutnya hal ini penting karena nasabah pemegang kartu kredit harus dicegah untuk membeli barang-barang yang haram. Juga kemungkinan keuntungan bank dari transaksi jual-beli barang haram. Karena itu sebaiknya menunggu perkembangan teknologi informasi.
n Mulya berpendapat tak semua produk perbankan konvensional harus diadopsi perbankan syariah. Dikhawatirkan banyak produk yang hanya sekadar berlabel syariah namun implementasinya menyimpang. Malaysia yang telah menerapkan kartu kredit syariah memang menerapkan pendekatan yang lebih liberal dan progresif.
n Mulya mengungkap sampai saat ini belum ada bank syariah yang mengajukan izin penerbitan kartu kredit. Pembahasan kartu kredit ini memang merupakan inisiatif BI sebagai persiapan bila memang bank syariah ingin menerbitkan kartu kredit. Di luar negeri, kartu kredit syariah akhirnya menjadi charge card yang di Indonesia diterbitkan BII Syariah.
n Mulya mengatakan BI ingin menjamin agar produk kartu kredit syariah benar-benar sesuai syariah. ”Jangan sampai nanti sama saja seperti kartu kredit konvensional seperti yang terjadi di beberapa negara” kata Mulya. Di luar negeri, kartu kredit jadi sumber konsumtif. Sementara itu Ketua Dewan Syariah Nasional MUI, KH Ma’ruf Amin, mengungkap kartu kredit syariah memang masih kontroversial. Namun DSN telah membahas rancangan fatwanya. ”Tinggal menunggu apakah ada izin BI.” Karena fatwa juga harus dibentuk peraturan BInya sebelum dijadikan produk perbankan. Menurutnya permintaan atas kartu kredit syariah juga tinggi.
(5) Pro-Kon Kartu Kredit Syariah
n Seperti yang terungkap dari hasil workshop mengenai kartu kredit syariah yang diadakan Juni lalu di Cisarua, Bogor, ada beberapa skim syariah yang bisa dipakai untuk mendasari operasional kartu kredit.
n Untuk transaksi pengambilan uang tunai digunakan akad qardh wal ijarah. Untuk transaksi jasa digunakan akad ijarah. Sedangkan untuk transaksi pemegang kartu (hamil al-bithaqah) melalui merchant (qabil al-bithaqah), akad yang digunakan ada dua alternatif, yakni akad kafalah wal ijarah sebagaimana tercantum dalam fatwa No 42/DSN- MUI/V/2004 tentang Syariah Charge Card, atau akad murabahah dengan pola sebagai berikut:
n Bank (muwakil) mewakilkan kepada nasabah (wakil) untuk membeli barang ataupun jasa yang diperlukan (halal) pada merchant dengan metode bai al istijrar, yaitu transaksi jual beli dengan pengambilan barang terlebih dulu, pembayaran dilakukan kemudian yang menjadi tanggung jawab bank penerbit kartu, untuk kemudian dicicil oleh pemegang kartu sesuai dengan harga pokok ditambah margin yang ditentukan oleh bank penerbit dalam jangka waktu yang disepakati.
n Bank penerbit kartu memperoleh keuntungan dari margin jual beli sesuai yang disepakati dengan pemegang kartu. Akad bai al istijrar juga diberlakukan antara pemegang kartu dan merchant, dengan nasabah bertindak sebagai wakil bank. Bank penerbit memiliki kewajiban membayar seluruh harga barang atau jasa kepadamerchant, dan merchant memiliki hak tagih kepada bank.
n Lembaga keuangan syariah (LKS) yang akan meluncurkan produk kartu kredit syariah hanya diperkenankan memilih salah satu dari dua akad yang ditawarkan, dan tidak diperbolehkan untuk menggunakan kedua akad tersebut.
FATWA TENTANG SYARIAH CARD
Pertama: Ketentuan Umum
n Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan:
1. Syariah Card adalah kartu yang berfungsi seperti Kartu Kredit yang hubungan hukum (berdasarkan sistem yang sudah ada) antara para pihak berdasarkan prinsip Syariah sebagaimana diatur dalam fatwa ini.
2. Para pihak sebagaimana dimaksud dalam butir a adalah pihak penerbit kartu (mushdir al-bithaqah), pemegang kartu (hamil al-bithaqah) dan penerima kartu (merchant, tajir atau qabil al-bithaqah).
3. Membership Fee (rusum al-’udhwiyah) adalah iuran keanggotaan, termasuk perpanjangan masa keanggotaan dari pemegang kartu, sebagai imbalan izin menggunakan kartu yang pembayarannya berdasarkan kesepakatan.
4. Merchant Fee adalah fee yang diberikan oleh merchant kepada penerbit kartu sehubungan dengan transaksi yang menggunakan kartu sebagai upah/imbalan (ujrah) atas jasa perantara (samsarah), pemasaran (taswiq) dan penagihan (tahsil al-dayn);
5. Fee Penarikan Uang Tunai adalah fee atas penggunaan fasilitas untuk penarikan uang tunai (rusum sahb al-nuqud).
6. Ta’widh adalah ganti rugi terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan oleh penerbit kartu akibat keterlambatan pemegang kartu dalam membayar kewajibannya yang telah jatuh tempo.
7. Denda keterlambatan (late charge) adalah denda akibat keterlambatan pembayaran kewajiban yang akan diakui seluruhnya sebagai dana sosial.
Kedua: Landasan Hukum
n Syariah Card dibolehkan, dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam fatwa ini.
Ketiga: Ketentuan Akad
n Akad yang digunakan dalam Syariah Card adalah:
1. Kafalah; dalam hal ini Penerbit Kartu adalah penjamin (kafil) bagi Pemegang Kartu terhadap Merchant atas semua kewajiban bayar (dayn) yang timbul dari transaksi antara Pemegang Kartu dengan Merchant, dan/atau penarikan tunai dari selain bank atau ATM bank Penerbit Kartu. Atas pemberian Kafalah, penerbit kartu dapat menerima fee (ujrah kafalah).
2. Qardh; dalam hal ini Penerbit Kartu adalah pemberi pinjaman (muqridh) kepada Pemegang Kartu (muqtaridh) melalui penarikan tunai dari bank atau ATM bank Penerbit Kartu.
3. Ijarah; dalam hal ini Penerbit Kartu adalah penyedia jasa sistem pembayaran dan pelayanan terhadap Pemegang Kartu. Atas Ijarah ini, Pemegang Kartu dikenakan membership fee.
Keempat : Ketentuan tentang Batasan (Dhawabith wa Hudud) Syariah Card
1. Tidak menimbulkan riba.
2. Tidak digunakan untuk transaksi yang tidak sesuai dengan syariah.
3. Tidak mendorong pengeluaran yang berlebihan (israf), dengan cara antara lain menetapkan pagu maksimal pembelanjaan.
4. Pemegang kartu utama harus memiliki kemampuan finansial untuk melunasi pada waktunya.
5. Tidak memberikan fasilitas yang bertentangan dengan syariah
Kelima : Ketentuan Fee
1. Iuran keanggotaan (membership fee)
Penerbit Kartu berhak menerima iuran keanggotaan (rusum al-’udhwiyah) termasuk perpanjangan masa keanggotaan dari pemegang Kartu sebagai imbalan (ujrah) atas izin penggunaan fasilitas kartu.
2. Merchant fee
Penerbit Kartu boleh menerima fee yang diambil dari harga objek transaksi atau pelayanan sebagai upah/imbalan (ujrah) atas perantara (samsarah), pemasaran (taswiq) dan penagihan (tahsil al-dayn).
3. Fee penarikan uang tunai
Penerbit kartu boleh menerima fee penarikan uang tunai (rusum sahb al-nuqud) sebagai fee atas pelayanan dan penggunaan fasilitas yang besarnya tidak dikaitkan dengan jumlah penarikan.
4. Fee Kafalah
Penerbit kartu boleh menerima fee dari Pemegang Kartu atas pemberian Kafalah.
5. Semua bentuk fee tersebut di atas (a s-d d) harus ditetapkan pada saat akad aplikasi kartu secara jelas dan tetap, kecuali untuk merchant fee.
Keenam : Ketentuan Ta’widh dan Denda
l Ta’widh
Penerbit Kartu dapat mengenakan ta’widh, yaitu ganti rugi terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Penerbit Kartu akibat keterlambatan pemegang kartu dalam membayar kewajibannya yang telah jatuh tempo.
l Denda keterlambatan (late charge)
Penerbit kartu dapat mengenakan denda keterlambatan pembayaran yang akan diakui seluruhnya sebagai dana sosial.
BAB IV KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas dapat kami simpulkan bahwa kartu kredit syariah masih dalam keadaan pro dan kontra, tetapi kartu kredit syariah itu muncul karena perbankan syariah ingin compete(bersaing) dengan konvensional. Jadi, itu sangat dibutuhkan, kartu kredit dibutuhkan untuk pengembangan bisnis perbankan. Selain itu, KARTU kredit sudah menjadi gaya hidup tersendiri yang berhasil mengubah perilaku masyarakat. Bagaimana kartu kredit syariah? Apa mungkin? Tren ke depan, kartu kredit bakal menjadi mata uang tersendiri. Esensinya praktis, aman, dan fleksibel. Meskipun, masih memicu kontroversi, karena sering menjerat si pemakai menjadi ‘besar pasak daripada tiang’. Di tengah kontroversial itu muncul wacana penerbitan kartu kredit syariah yang juga disikapi beragam oleh pihak-pihak terkait. Pihak perbankan syariah, misalnya, ada yang menyatakan mendukung, ada pula yang sebaliknya.
Dalam pembahasan masalah ini, kami belum dapat menyimpulkan kalau kartu kredit syariah dibutuhkan setelah melihat paparan di atas. Jadi, dalam hal ini kartu kredit masih belum mendapat lampu hijau dari pemerintah sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Wahab Ibrahim, Dr. Abdul, Banking Cards Syari’ah Kartu Kredit dan Debit Dalam Perspektif Fiqh, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Ad Duwaisy, Ahmad bin Abdurrazaq, Fatwa-fatwa Jual Beli, Pustaka Imam Asy Syafi’i, 2004, cet. 1.
Siamat, Dahlan, Manajemen Lembaga Keuangan, Jakarta : Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2001.
Abu Sulaiman, Abdul Wahhab bin Ibrahim, Bithaaqat Al-Mu’amalat Al-Maaliyah.
Badwi, Ahmad Zaki, Mu’jam al-musthalahat at-Tijariyah at-Ta’awuniyah Arab-Inggris-
Prancis, Beirut: Darun Nahdhah al Arabiyah percetakan plus penerbitan,1984.
Majalah Majma’ al Fiqh al Islami edisi 7 1412 H & 1992 M.
0 komentar:
Posting Komentar