Posted by Fery Adi Prasetyo

Muslim sedunia akan menjalani Ibadah kurban kurang dari tiga pekan mendatang. Meski demikian, kurban ternyata bukanlah ritual umat Islam semata. Masyarakat Jawa kuno (kejawen), warga yang di sekitar pantai, Romawi, kaum Pagan, juga kaum Quraisy, kaum tempat Rasulullah SAWdilahirkan. Bentuk korbannya pun macam-macam, bisa berupa hasil tani, hewan, hingga manusia.
Hal tersebut tentu tak mengherankan, karena sejak Nabi Adam as ritual kurban sudah dilakukan. Saat itu kurban diadakan untuk menguji Habil dan Qabil, kedua putra Adam as yang berselisih memperebutkan Iqlima, putri Adam as. Di agama Islam sendiri, kurban ditandai dengan peristiwa penyembelihan Nabi Ismail as oleh bapaknya sendiri, Nabi Ibrahim as, yang kemudian diganti dengan domba.
Meski pada dasarnya kurban bermakna pengorbanan, atau mengorbankan sesuatu. Menurut Ustadz Yajid Kalam, manajer DPD (Divisi Pelayanan dan Dakwah) Masjid Salman ITB, secara hakekat makna kurban dalam Islam tentu tak sama. Perbedaan yang utama jelas pada syariat yang mendasarinya. kurban yang dilakukan bukan untuk Allah jelas syirik hukumnya. Selain itu, ibadah kurban dalam Islam juga memiliki makna yang lebih mendalam jika dikaji lebih lanjut.
Yang pertama, kurban yang dilakukan Nabi Ibrahim as merupakan bantahan terhadap ajaran paganisme yang saat itu banyak dianut oleh Kaum Nabi Ibrahim as. Dalam ajaran pagan, manusia kerap dijadikan korban atau tumbal untuk sesembahan mereka. Mereka khawatir sesuatu yang buruk akan menimpa mereka jika korban tidak dipersembahkan. Secara tidak langsung, inilah konsep kolonialisme, mengorbankan orang lain untuk kesejahteraan diri sendiri dan golongan.
Tentu saja ini bertentangan dengan ajaran Ibrahim as. Maka, tindakan Ibrahim as saat itu, dengan ‘menyembelih’ putranya sendiri, adalah cara Allah menunjukkan bahwa ajaran pagan itu salah. Karena seketika itu juga posisi Ismail as digantikan oleh seekor domba.
Makna Sosial Berkurban
Selanjutnya kurban juga memiliki makna sosial. Seseorang yang berkurban dan turut mengurusi hewan kurbannya, mulai menyembelih hingga pembagian daging kurban, biasanya memiliki kedekatan sosial. Oleh karena itu qarib (orang yang berkurban), hendaknya memang terlibat dalam ritual ini. Apalagi secara harfiah, qarib juga berarti dekat.
Ustadz Yajid mengibaratkan peristiwa kurban sebagai kenduri Allah untuk para umatnya. Hewan yang disembelih saat kurban merupakan hidangannya. “Kurban itu sadaqah untuk orang fakir, hadiah untuk orang kaya,” jelasnya mengutip pernyataan dalam ilmu fiqih.
Analogi kenduri ini ia jabarkan lagi, bahwa dalam kenduri ada tamu yang sekedar datang, makan, lalu pulang. Ada juga tamu yang bahkan hanya mampir sebentar, lalu pergi. Tapi kerabat atau tetangga yang dekat tentu tidak demikian, biasanya mereka akan membantu mengurusi sebisanya, bahkan bisa dari awal hingga akhir kenduri. Jadi, seseorang yang berkurban dan mengurusi kurbannya, menunjukkan seberapa dekat orang tersebut dengan Allah.
Lantas, mengenai maraknya kurban ‘titipan’ yang umum dilakukan qaribpada lembaga zakat dan sadaqah, menurut Ustadz Yajid kurbannya tetap sah. Hanya saja, makna sosial dari kurban tersebut jelas akan berkurang. Kebaikan yang akan didapat oleh qarib semata dari sisi formal individual, tidak secara spiritual.
Terakhir, makna kurban secara individual. Secara individu, makna kurban berarti merelakan, mengikhlaskan sebagian harta di jalan Allah. Tentu saja ganjarannya amat besar, dalam suatu hadist disebutkan bahwa pahala kurban dihitung sebanyak bulu hewan yang dikurbankan. Di hadist lain, pahala kurban disamakan dengan banyaknya tetes darah hewan yang dikurbankan.
Baik secara harfiah ataupun secara maknawi, kedua hadist tersebut maknanya tidak jauh berbedaa. Pahala kurban yang dijanjikan Allah amatlah besar, hingga manusia tak sanggup menghitungnya. Itulah janji Allah untuk qarib-qarib yang ikhlas.
Mari berkurban dengan ikhlas, sebaik yang kita mampu. Selamat menyiapkan hewan kurban.
sumber: salmanitb.com
0 komentar:
Posting Komentar